Sengketa Kontrak Sewa Tanah WNA di Tumbakbayuh Masuk Ranah Pengadilan

Iklan Semua Halaman

.

Sengketa Kontrak Sewa Tanah WNA di Tumbakbayuh Masuk Ranah Pengadilan

jejak digital
Kamis, 05 Juni 2025


DENPASAR - Konflik sengketa lahan di Tumbakbayuh Canggu menyeret dua orang Warga Negara Asing (WNA) bertikai hingga kasusnya masuk pengadilan. 


Secara hukum, Philippe asal Perancis bersengketa dengan Julian selaku WNA asal Australia mengenai sewa menyewa lahan tanah. 


Kejadian bermula, saat Philippe dan Julian melakukan kesepakatan kontrak hak sewa tanah dengan termin pembayaran selama dua tahun. 


Diakhir termin pembayaran barulah hak sewa bisa digunakan oleh Julian, tapi, Julian disinyalir melakukan wanprestasi. 


"Pertama, Julian telat melakukan penbayaran dan kedua, dia sama sekali tidak melakukan pembayaran," kata Philippe, saat diwawancarai awak media di Pengadilan Negeri Denpasar, Rabu, 4 Juni 2025.  


Disebutkan pula, bahwa terdapat surat pernyataan dari pemilik tanah yang menyatakan, bahwa tidak ada masalah dalam perjanjian sewa menyewa antara pemilik tanah dengan Philippe. 


Menurutnya, sewa menyewa tanah selama 25 tahun ditambah hak untuk memperpanjang lagi selama 15 tahun, yang lokasinya di Tumbakbayuh Canggu, Kabupaten Badung. 


"Sewa menyewa saya dengan pemilik tanah itu tidak ada masalah. Julian hanya mencari alasan atau dalih untuk tidak bayar," ungkapnya. 


Sebenarnya, Julian berada di Indonesia dengan Visa On Arrival (VOA), sehingga berdasarkan aturan hukum Indonesia disebutkan Warga Negara Asing (WNA) tidak boleh berbisnis atau tidak boleh memiliki tanah dengan menggunakan VOA tersebut. 


Sebelumnya, diklaim Julian memiliki tanah dan hak sewa atas tanah itu tidaklah benar, karena dia belum melunasi pembayaran atas hak sewa tanah tersebut. 


"Saat menyewa tanah dari pemilik tanah, saya sendiri melakukan pertemuan dengan keluarga pemilik tanah tersebut. Jadi, ada 7 anggota keluarga, lalu saya juga melakukan pertemuan dengan pihak banjar, karena saya sangat menghormati dan menghargai komunitas yang ada di Bali," kata Philippe. 


Bahkan, Philippe mengakui  telah melakukan pembayaran berupa donasi buat subak sebesar Rp 260  juta. Sementara itu, Julian menolak untuk melakukan pertemuan dengan pihak banjar dan keluarga pemilik tanah. Padahal, dirinya sudah menyarankan berkali-kali kepada Julian, untuk memulai membangun hubungan dengan pihak banjar dan juga keluarga pemilik tanah tersebut. 


Pada saat Julian dimintai tagihan buat subak oleh pihak banjar, dia menolak untuk membayar dan menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk melakukan wanprestasi, sehingga tidak mau membayar termin pembayaran  hak sewa tanah tersebut. 


Padahal, tagihan buat subak diminta hanya Rp 10 juta, karena tanahnya melewati 5 meter tanah subak, karena tanah per meter itu dikenakan Rp 2 juta, tapi Julian menolak membayar totalnya Rp 10 juta. 


Hal tersebut digunakan dalih  sebagai alasan untuk tidak mau membayar, karena dia mengklaim didalam perjanjian tidak ada disebutkan kesepakatan, bahwa pihak penyewa tidak diharuskan untuk membayar subak. Padahal, didalam perjanjian ada tertulis lengkap kata-kata subak. 


"Itu Julian tidak mau bayar, padahal di perjanjian ada kata-kata Subak tertulis dengan jelas," tegasnya. 


Setelah dilakukan wanprestasi dan tidak membayar, dia mengirim surat kepada Phillippe, yang menyatakan bahwa kontrak tidak valid lagi. 


"Dia klaim didalam kontrak itu tidak disebutkan mengenai adanya pembayaran-pembayaran di waktu mendatang untuk subak, padahal itu ada tertulis jelas, segala pembayaran ditanggung pihak penyewa," ungkapnya. 


Disebutkan pada pasal 7 sangat jelas menyatakan bahwa semua pembayaran di waktu mendatang, termasuk pembayaran subak, telepon dan lain sebagainya ditanggung oleh pihak pertama, yakni Julian. 


"Nah, disitu jelas ada kata-kata subak di pasal 7. Sementara, jawaban yang diajukan oleh pihak Julian melalui Kuasa Hukumnya tidak disebutkan, bahwa pembayaran-pembayaran di waktu mendatang itu, termasuk subak. Jadi, kata subak dihilangkan didalam jawaban yang diajukan ke pengadilan," tambahnya. 


Patut diketahui, bahwa Philippe tidak kenal dengan Julian, yang sebelumnya pernah bertemu sekali hanya 5 menit saja, karena dia tertarik untuk menyewa tanahnya. 


"Jadi, itu ketemu melalui agen cuma sebentar aja cuma 5 menit untuk bertemu Julian," tambahnya. 


Setelah menolak melakukan pembayaran, Julian juga menyampaikan ancaman yang dibilang punya koneksi di Bali dan bisa melaporkan ke polisi atas tuduhan  Philippe melanggar perjanjian sewa hak tanah diantara mereka. 


Dengan ancaman tersebut, dia juga ada meminta diskon atau potongan harga pembayaran hak sewa tanah sebesar Rp 2 milyar. 


Alasannya, pembayaran tersebut sebagai kompensasi bayar subak. Padahal pembayaran subak hanya diminta Rp 10 juta, tapi dia minta kompensasi Rp 2 milyar. 


"Ancaman serupa juga dilancarkan, tapi untungnya saya disini tidak punya anak-anak dan orang-orang yang bisa ditargetkan," tambahnya. 


Meski demikian, sebagai WNA asal Perancis, Philippe mengakui tahu diri sebagai pihak menyewa tanah, untuk bergaul membangun hubungan dengan orang-orang lokal. 


"Itu tidak seperti Julian, yang tidak mau bertemu dengan pihak banjar dan pemilik tanah, sama sekali tidak mau dia," lanjutnya. 


Mengenai campur tangan oknum militer atas kasusnya, Philippe bakal menyampaikan kasus tersebut kepada pihak kepolisian nantinya. 


"Soal lapor ke Imigrasi, saya tidak lapor Julian ke Imigrasi, karena saya tidak tahu Undang-Undang Keimigrasian di Indonesia. Saya juga tidak begitu tahu tentang Julian, dia punya bisnis apa saja disini, apa restauran atau gitu, yang saya tahu, dia tidak dicekal lagi," tutupnya. (red/tim). 


#PHILIPPE #JULIAN #KASUS #SEWA LAHAN TANAH #CANGGU #SENGKETA